Bandarlampung (Pikiran Lampung)
- Hajat Pemprov Lampung secara teori adalah 'laporan; pemerimtah kepada rakyat dalam hal penggunaan APBD, namun apa jadinya jika hajat tersebut justru terindikasi dijadikan pemprov untuk mencari keutungan dari rakyat?

Menurut Ketua LSM Gepak Yudi, indikasi Pemprov di bawah kendali Gubernur Lampung Arinal Djunaidi mencari keuntungan dari rakyat, bisa dilihat dari adanya tiket masuk untuk rakyat jika ingin melihat ajang yang dulu bernama Pameran Pembangunan namun sekarang berganti jadi Pekan Raya Lampung. " Ini Hajat untuk siapa? untuk rajyat kah. apa untuk petinggi Pemprov Lampung yang diduga mecari keuntungan pribadi, dengan mengeruk uang rakyat,"kata Yudi Kepada Pikiran Lampung, Jumat (31/5/2024). 

Menurut Yudi, kebijakan Gubernur Arina; bersama para jajaran di bawahnya, yang menjadikan PRL sebagai ajang bisnis dengan mewajibkan rakyat wayar jelas kebijakan yang salah. " Ini kan pemeran, lahan punya pemprov, tapi rakyat disuruh bayar untuk melihat pesta yang harusnya jadi laporan kepada rakyat hasil pembangunan Lampung selama ini,nah yang katanya Lampung Berjaya tapi rakyatnya dibuat sengsara itu benartnya dimana?,' kata Yudi. 

 Menurutnya, PRL akan segera usai, alih-alih ikut membantu meningkatkan perekonomian pelaku ekonomi Lampung, ini malah menyengsarakan Rakyat dan dapat dipastikan peserta mengalami kerugian, bukan hanya itu masyarakat yang diharapkan bisa menikmati dan merasakan hasil pembangunan pun tidak mampu di karenakan mahalnya harga tiket, "Belum lagi peserta merasa was-was karena keamanan yang tidak terjamin oleh pihak penyelenggara karena seringnya kehilangan barang-barang seperti handphone dan lain-lain,"jelasnya. 

Kata Yudi, pentingnya membuka ruang gagasan. Ini yang tidak pernah ada di provinsi ini. Pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten kota tidak satupun memberi ruang kepada warga untuk menyelesaikan ide, untuk menjaring gagasan, memberikan kebebasan kepada semua pihak untuk menyelesaikan gagasannya.

"Kebijakan yang dipilih oleh Pemprov yakni menswastakan, dalam arti menyerahkan Pekan Raya Lampung (PRL) kepada pihak swasta selama tiga tahun terakhir, itu bukti pemerintah tidak memberikan ruang kepada masyarakatnya untuk menyampaikan gagasannya,"kata dia. Bahkan sekaligus membuktikan bahwa pemrov tidak punya gagasan sama sekali bagaimana mengelola Pekan Raya Lampung yang baik bahkan menuju sempurna.

"Contohnya tidak ada gagasan bagaimana caranya agar penyelenggara PRL itu bisa efektif, efisien dan menarik, dalam artian masyarakat tidak keberatan atau dapat menjangkau harga-harga yang diputuskan untuk tiket masuk atau tiket parkir atau tiket apapunlah yang bisa terjangkau oleh masyarakat itu harusnya dicari gagasannya bagaimana caranya. Gagasan apasih yang ditawarkan Pemprov supaya pertunjukan adat budaya atau hiburan di lokasi PRL bisa menarik dan membahagiakan masyarakat yang datang, itu tidak ada, semua diserahkan bulat-bulat kepada swasta,"jelasnya. 

 Akibatnya. kata Yudi,  yang namanya pihak swasta yang mendapat kue penyelenggaraan itu orientasinya pasti benefit, pastilah keuntungan, pastinya mereka berusaha untuk mengeruk keuntungan terus-terusan dengan sebaliknya mereka pun menekan biaya sebesar-besarnya. 

Yang terjadi akhirnya apa? Tiket dimahalkan, penyelenggara tidak memikirkan bagaimana omset peserta, bagaimana penyajikan Pekan Raya Lampung yang bisa menyajikan semua kriteria. Kriteria yang di maksud adalah murah, menarik, dan memberikan dampak ekonomi kepada peserta terutama kepada UMKM. itu persoalannya.

"Apapun kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, provinsi atau kabupaten kota, tidak melibatkan peran serta masyarakat secara umum, membungkam gagasan. Harusnya membuka ruang sebesar-besarnya dan terjadilah perang gagasan masyarakat dengan antusias menyampaikan gagasannya. Nah itu yang tidak ada.,"kata Yudi. 

Harusnya walaupun diserahkan kepada pihak ketiga, Pemprov harusnya juga mencari satu event Organizer (EO) dengan kelas internasional, jangan lakukan uji coba PRL kepada swasta, dengan hanya mengandalkan kemampuan-kemampuan lokal yang dilakukan oleh orang-orang yang sebetulnya tidak berpengalaman.

Bukan rahasia umum lagi bahwa pemenang swasta itu tidak di lelang, tidak di tender. Awalnya dari tahun pertama itu hanya satu perusahaan, kemudian karena ada perbaikan di buat ada perusahaan pendamping, jadi dua perusahaan, itupun tidak cukup, seharusnya berusaha untuk mencari, mencoba, melakukan dan memutuskan agar penyelenggara itu yang  memenuhi persyaratan nasional sambil EO-EO lokal belajar menjadi vendor disitu. Jangan dipaksakan EO-EO itu bermain ditahun-tahun awal.

Bisa dipastikan akan berulang kegagalan-kegagalan itu di tahun selanjutnya karena paling enak, ada bisnis tidak ada lelang tidak ada tender dan apapun keuangan tidak akan diperiksa, tidak ada pemeriksaan, tidak ada evaluasi dan tidak ada pemeriksaan oleh BPK. Untuk membangun sebuah daerah yang maju itu ditandai dengan tumbuhnya banyak gagasan. (Red)


Post A Comment: