Advertisement
Bandarlampung (Pikiran Lampung)- Oknum dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila), Dwi Pujo Prayitno, SH, MH, mangkir dari panggilan penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Lampung Timur. Semestinya hari Selasa (18/2/2025) ini pukul 10.00 WIB ia menjalani pemeriksaan. Namun, hingga pukul 13.00 WIB, yang bersangkutan tidak memenuhi panggilan dan tidak menyampaikan pemberitahuan apapun.
Sebelumnya, hari Selasa (11/2/2025) pekan lalu, Dwi Pujo
Prayitno memenuhi panggilan penyidik dan menjalani pemeriksaan secara intensif.
Mangkirnya Dwi Pujo Prayitno dari panggilan tim penyidik
pidana khusus (Pidsus) Kejari Lamtim ini tentu menjadi catatan tersendiri.
Mengingat selama ini secara maraton, penyidik telah melakukan pemeriksaan
terhadap puluhan saksi.
Perkara apa yang membuat oknum dosen FH Unila, Dwi Pujo
Prayitno, dipanggil kedua kalinya oleh Kejari Lamtim? Tidak lain guna menjalani
pemeriksaan dalam kasus dugaan gratifikasi terkait dengan pembayaran uang ganti
rugi pembangunan Bendungan Margatiga.
Bila mengacu pada pasal 12B UU Nomor: 31 Tahun 1999 Jo UU
Nomor: 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jika dalam
proses penegakan hukum oleh Kejari Lamtim pada akhirnya oknum dosen FH Unila
tersebut ditetapkan sebagai tersangka, ia dapat dikenakan ancaman pidana
penjara seumur hidup atau penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta
denda paling sedikit Rp 200 juta rupiah, dan maksimal Rp 1 miliar.
Berdasarkan penelusuran, Dwi Pujo Prayitno dalam
kapasitasnya sebagai ASN telah menerima fee 15% dari ratusan warga yang
mendapat uang ganti rugi atas pembangunan proyek strategis nasional Bendungan
Margatiga pada lahan eks Register 37 Way Kibang, di Desa Trisinar, Kecamatan
Margatiga, dan Desa Mekar Mulyo, Kecamatan Sekampung, dimana yang bersangkutan
bertindak seolah-olah advokat.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, perkara yang melilit
oknum dosen FH Universitas Lampung (Unila) ini mencuat setelah Kejaksaan Agung
menerima laporan dari masyarakat Desa Trimulyo, Kecamatan Sekampung, Lampung
Timur.
Atas laporan warga tersebut, Kejaksaan Agung menyerahkan
tindaklanjut penanganan perkaranya kepada Kejaksaan Tinggi Lampung, dengan
surat nomor: R-34111/F.2.Fd.1/11/2024 tanggal 20 November 2024.
Merespon surat perintah dari Kejaksaan Agung, tim
Kejaksaan Tinggi Lampung melalui Kejari Lamtim melakukan serangkaian
pemeriksaan kepada pihak terkait. Dimulai pada Selasa, 31 Desember 2024, tim
penyidik dari Kejaksaan Negeri Lamtim yang dipimpin Kasi Pidsus, Marwan Jaya
Putra, meminta keterangan kepada puluhan warga Desa Trimulyo di Balai Desa
Mekar Mulyo, Kecamatan Sekampung.
Lalu pada hari Senin, 6 Januari 2025, tim Pidsus Kejari
Lamtim meminta keterangan Dekan Fakultas Hukum Unila, Dr. M. Fakih, SH, MSi,
terkait legalitas Dwi Pujo Prayitno yang bertindak sebagai pengacara dari
ratusan warga.
Selanjutnya pada hari Selasa, 7 Januari 2025, penyidik
Kejari Lamtim juga meminta keterangan Kepala Balai Pengawasan Wilayah Sungai
Mesuji Sekampung, untuk mendalami sejauhmana keterlibatan atau pengaruh dari
keberadaan para oknum lawyer –yang didalamnya terdapat nama Dwi Pujo Prayitno-
dalam ikut menentukan keputusan dibayar atau tidaknya lahan eks Register 37 Way
Kibang oleh pemerintah pusat.
Selama ini disebut-sebut, Dwi Pujo Prayitno telah berhasil
meraup fee sebesar Rp 3,5 miliar dari perbuatannya yang seolah-olah advokat.
Dan dalam praktiknya, ia melibatkan istri mudanya sebagai pengatur saat warga
penerima uang ganti rugi mengambil dananya di BRI Cabang Metro dengan
mengarahkan untuk langsung menyetor ke rekening Dwi Pujo Prayitno sebagai fee
15%. (red)