lisensi

Jumat, 14 Maret 2025, Maret 14, 2025 WIB
Last Updated 2025-03-14T07:38:56Z
Serba-Serbi Ramadan 1446 H

Sayyidah Khadijah ra dan Hari-Hari Menjelang Turunnya Al-Qur’an

Advertisement

 


Ramadhan adalah bulan penuh keberkahan, bulan di mana Al-Qur’an diturunkan sebagai cahaya petunjuk bagi manusia. Namun, sebelum wahyu pertama itu turun, ada sebuah kisah luar biasa yang menjadi latar belakangnya, yaitu kisah seorang wanita mulia yang dengan cinta, keteguhan, dan pengorbanannya menjadi pendamping Rasulullah saw, yakni Sayyidah Khadijah ra. Beliau bukan hanya istri, tetapi saksi pertama dari kenabian Muhammad saw, pendamping suami di saat sulit, dan orang pertama yang mengimani kenabian suaminya.  


Hari-hari menjelang turunnya wahyu adalah masa yang penuh perenungan dan kegelisahan bagi Rasulullah saw, tetapi di sisi beliau ada seorang wanita yang dengan hati penuh keyakinan menguatkan dan mendampinginya menuju takdir besar yang telah Allah tetapkan. Kisah ini bukan sekadar sejarah, melainkan pelajaran tentang cinta, pengorbanan, dan iman yang tak tergoyahkan, sebuah inspirasi bagi kita semua di bulan suci Ramadhan ini.


Sebelum diangkat sebagai nabi, Rasulullah saw sudah dikenal sebagai Al-Amin, orang yang paling terpercaya di Makkah. Namun, hati beliau resah melihat kezaliman, kesyirikan, dan ketidakadilan yang merajalela. Dalam kegelisahannya, beliau memilih untuk menyepi di Gua Hira, merenung dan mencari cahaya kebenaran.


Di sinilah Sayyidah Khadijah ra memainkan peran yang luar biasa. Beliau tidak sekadar memahami, tetapi mendukung penuh perjalanan spiritual suaminya. Setiap kali Rasulullah saw pergi ke Gua Hira, Khadijah ra menyiapkan bekal, memastikan kesehatannya, dan memberi ketenangan dengan cinta dan doa. Dukungan ini adalah bukti betapa dalamnya pemahaman Khadijah ra tentang suaminya. Beliau tahu bahwa Rasulullah saw tidak mencari harta, tahta, atau pujian manusia, akan tetapi beliau sedang mencari kebenaran sejati.


Turunnya Wahyu dan Ujian Pertama Saat cahaya pertama wahyu turun, Jibril as datang membawa firman Allah, pengalaman ini membuat Rasulullah saw gemetar dan takut. Beliau segera pulang dan berkata: زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي Artinya: Selimuti aku! Selimuti aku! (HR Bukhari dan Muslim).  


Sayyidah Khadijah ra tidak panik, tidak ragu, dan tidak bertanya-tanya dengan kebimbangan. Dengan penuh kelembutan, beliau berkata: “Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Engkau adalah orang yang selalu menyambung silaturahmi, menolong yang lemah, memberi kepada orang yang membutuhkan, memuliakan tamu, dan membantu orang yang berada dalam kesulitan” (HR Bukhari). Inilah keyakinan yang luar biasa. Ketika dunia meragukan, Khadijah ra percaya. Ketika Rasulullah saw kebingungan, Khadijah ra menguatkan. Ketika masa depan tampak gelap, Khadijah ra melihat cahaya. Tidak berhenti di situ, Khadijah ra mengajak Rasulullah saw menemui Waraqah bin Naufal, seorang alim dari kalangan Nasrani yang memahami kitab-kitab terdahulu. 


Setelah mendengar cerita Rasulullah saw, Waraqah memberikan kesaksian yang mengubah segalanya: “Itu adalah Namus (Jibril) yang pernah datang kepada Musa. Andai aku masih muda, andai aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu.” 


Pelajaran dari Sayyidah Khadijah ra 

1. Iman yang Tak Tergoyahkan 

Khadijah ra adalah sosok yang hatinya penuh keyakinan sejak awal. Ketika Rasulullah saw menerima wahyu pertama dan datang dengan perasaan gemetar, beliau langsung menenangkan dan meyakinkannya bahwa Allah tidak mungkin menghinakannya. Tanpa melihat atau mendengar sendiri wahyu itu, Khadijah ra langsung mengimani kenabian suaminya.  Keyakinan ini bukanlah sekadar kepercayaan buta, tetapi lahir dari pemahaman mendalam terhadap akhlak Rasulullah saw dan keyakinan bahwa seorang dengan karakter luhur seperti beliau pasti dipilih untuk tugas yang besar. Sikap Khadijah ra menunjukkan bahwa hati yang bersih akan selalu mengenali kebenaran, tanpa perlu menunggu bukti-bukti tambahan. 


2. Dukungan Tanpa Syarat 

Khadijah tidak hanya mendukung Rasulullah saw secara emosional, tetapi juga secara fisik, mental, dan finansial. Ketika Rasulullah saw mengasingkan diri ke Gua Hira untuk mencari ketenangan batin, beliau dengan penuh kasih menyiapkan bekal dan memastikan kesejahteraannya.  Saat wahyu turun dan Rasulullah saw menghadapi tekanan dari masyarakat Makkah, Khadijah ra selalu berada di sampingnya, memberikan dorongan, ketenangan, dan keyakinan. Bahkan, dalam situasi sulit, ketika kaum Quraisy mulai memusuhi dakwah Rasulullah saw, Khadijah ra tetap setia di sisinya, menghadapi celaan dan tantangan bersama. Dukungan tanpa syarat ini membuktikan bahwa cinta sejati bukan hanya dalam keadaan senang, tetapi juga dalam perjuangan dan penderitaan. 


3. Pengorbanan untuk Dakwah 

Sebagai seorang perempuan bangsawan yang kaya dan dihormati, Khadijah ra bisa saja memilih hidup nyaman tanpa harus menanggung risiko besar bersama Rasulullah saw.  Namun, beliau justru menyerahkan seluruh hartanya untuk mendukung perjuangan Islam. Saat kaum Muslimin mengalami pemboikotan ekonomi di Syi’ib Abi Thalib, Khadijah ra rela hidup dalam kesulitan dan kekurangan, padahal sebelumnya beliau adalah wanita terhormat yang hidup berkecukupan.  


Kesetiaan dan pengorbanannya berakhir dengan wafatnya dalam kondisi lemah karena tekanan yang luar biasa, tetapi beliau tetap memegang teguh iman dan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya hingga akhir hayat. Pengorbanan Khadijah ra menjadi teladan bahwa perjuangan dalam agama tidak selalu mudah, tetapi memerlukan pengorbanan dan keteguhan hati yang luar biasa. Sayyidah Khadijah ra adalah simbol cinta, iman, dan pengorbanan sejati. Semoga kita bisa mengambil teladan dari beliau dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam menguatkan iman, mendukung kebaikan, dan berkorban demi kepentingan umat. Ramadhan bukan hanya bulan puasa, tetapi bulan perjuangan dan pencerahan. 


Kisah Sayyidah Khadijah ra mengajarkan kita bahwa iman harus disertai pengorbanan, bahwa kebenaran harus didukung, dan bahwa setiap ujian adalah bagian dari perjalanan menuju kebangkitan. Di bulan ini, kita bisa meneladani beliau dengan menguatkan keimanan dan keyakinan kepada Allah dalam setiap keadaan, menjadi pendukung kebaikan, baik dalam keluarga, lingkungan, maupun umat, serta mengorbankan sebagian dari harta dan tenaga untuk kepentingan Islam dan sesama. 


Jika Sayyidah Khadijah ra rela mengorbankan segalanya hartanya, kedudukannya, bahkan kenyamanannya demi tegaknya Islam, maka sudah selayaknya kita bertanya pada diri sendiri, apa yang telah kita persembahkan untuk agama ini? Mungkin kita tidak diuji dengan pemboikotan seperti beliau, tetapi apakah kita sudah menggunakan harta, waktu, dan tenaga kita untuk memperjuangkan nilai-nilai kebaikan?  


Apakah kita telah berusaha menjaga akhlak dalam keseharian, menolong sesama, dan mendukung dakwah dengan apa yang kita miliki? Jika Khadijah ra menjadikan seluruh hidupnya sebagai bukti cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, sudahkah kita menunjukkan cinta yang sama dalam bentuk pengorbanan dan keikhlasan? Ramadhan adalah waktu terbaik untuk meneladani keberanian, keteguhan, dan cinta Sayyidah Khadijah ra. Bulan ini bukan sekadar momen menahan lapar dan dahaga, tetapi kesempatan untuk melatih diri menjadi lebih tangguh, lebih beriman, dan lebih siap berjuang di jalan kebaikan.  


Di bulan ini, kita diajak untuk mengorbankan ego demi ukhuwah, mengorbankan waktu demi ibadah, dan mengorbankan sebagian rezeki demi berbagi. Semoga, di bulan penuh berkah ini, kita bisa mengambil jejak Khadijah ra menjadi pribadi yang kuat dalam iman, lembut dalam kasih sayang, dan selalu siap memberikan yang terbaik untuk agama ini. Wallahu a’lam bish-shawab.(H. Puji Raharjo-Ketua Tanfidziyah PWNU Lampung)