lisensi

Minggu, 09 Maret 2025, Maret 09, 2025 WIB
Last Updated 2025-03-09T10:00:26Z
Serba-Serbi Ramadan 1446 H

Takhrij Hadits Tidurnya Orang Berpuasa Adalah Ibadah

Advertisement



Bandar Lampung (Pikiran Lampung) - Hadits yang menyebutkan bahwa tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, sangat populer di masyarakat dan sering dijadikan dalil untuk menunjukkan bahwa puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga meliputi aktivitas lain seperti tidur yang juga bisa bernilai ibadah.  Namun, bagaimana status hadits ini dari sisi sanad dan matan? Apakah benar berasal dari Rasulullah saw? Untuk itu, kajian ini akan mengulas Takhrij Hadits tersebut secara mendalam dengan meninjau aspek sanad, matan, serta pendapat para ulama.


Hadits yang dimaksud berbunyi: نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ، وَصَمْتُهُ تَسْبِيحٌ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ، وَذَنْبُهُ مَغْفُورٌ


Artinya: Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni. Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa sumber, antara lain: Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (3/1437, No. 3627) 


Ibnu Hibban dalam Kitab adh-Dhu’afa’ (No. 567) Imam Al-Iraqi dalam Takhrij Ihya Ulumuddin Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (8/257) Kajian Sanad Hadits dan Pendapat Para Ahli Hadits tentang Sanad Hadits Ini Sanad hadits ini mengandung perawi yang lemah, yaitu Abu Bakr bin Abi Maryam, yang disebutkan dalam jalur periwayatan dari beberapa sumber. 


Imam Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman mengatakan bahwa hadits ini memiliki kelemahan dalam sanadnya. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Lisan al-Mizan menyebutkan bahwa Abu Bakr bin Abi Maryam dikenal dengan riwayat yang lemah. Kemudian Al-Iraqi dalam Takhrij Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa hadits ini tidak sahih karena ada kelemahan dalam perawinya. Sedangkan Ibnu Hibban dalam Kitab adh-Dhu’afa’ mengomentari Abu Bakr bin Abi Maryam dengan mengatakan bahwa dia adalah perawi yang lemah dan hafalannya sering berubah, sehingga hadits yang diriwayatkannya tidak dapat dijadikan hujjah. 


Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Maudhu’ah (4696) mengategorikan hadits ini sebagai dhaif (lemah) dan tidak bisa dijadikan dalil. Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits ini memiliki kelemahan dari aspek sanadnya karena terdapat perawi yang dinilai dhaif oleh para ahli hadits. Kajian Matan Hadits​​​​​​​Meskipun hadits ini lemah dari segi sanad, bagaimana dengan kandungan matannya? Apakah maknanya masih bisa diterima dalam Islam? 


1. Kata Tidur adalah Ibadah, Perlu Pemahaman yang Tepat 

Jika tidur dimaksudkan sebagai bentuk istirahat agar seseorang dapat bangun dan beribadah dengan lebih baik, maka hal ini bisa memiliki nilai ibadah. Rasulullah saw sendiri tidur sebagai bagian dari sunnah untuk menjaga kekuatan dalam beribadah, seperti dalam hadits yang menyebutkan bahwa beliau tidur di awal malam dan bangun di sepertiga malam terakhir untuk bertahajud. 


2. Tidak Bermakna Pembenaran untuk Bermalas-Malasan 

Jika seseorang tidur sepanjang hari tanpa melakukan ibadah lainnya, maka makna tidur sebagai ibadah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dalam Islam, puasa adalah momen untuk meningkatkan amal saleh, bukan sekadar tidur tanpa produktivitas. 


3. Konsep Ibadah dalam Islam 

Segala sesuatu bisa bernilai ibadah jika disertai dengan niat yang baik. Dalam Hadits yang sahih, Rasulullah saw bersabda: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ 

Artinya: Sesungguhnya setiap amal bergantung pada niatnya (HR Bukhari dan Muslim). Tidur yang diniatkan untuk menjaga stamina dalam beribadah bisa bernilai ibadah, tetapi jika sekadar untuk menghindari lapar dan haus tanpa niat yang baik, maka itu hanya menjadi kebiasaan biasa yang tidak bernilai ibadah. 


Dari kajian sanad dan matan di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits tidurnya orang berpuasa adalah ibadah, memiliki kelemahan dalam sanadnya, karena diriwayatkan oleh perawi yang lemah seperti Abu Bakr bin Abi Maryam. Oleh karena itu, hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah utama dalam memahami ibadah puasa. Secara makna, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan untuk menjaga stamina dalam beribadah, tetapi tidak boleh dijadikan alasan untuk bermalas-malasan sepanjang hari selama bulan Ramadhan.  


Islam menekankan keseimbangan antara istirahat dan produktivitas. Puasa bukan hanya tentang menahan lapar, tetapi juga meningkatkan ibadah seperti shalat, membaca Al-Qur’an, berdzikir, dan membantu sesama. Sebagai Muslim, kita harus memanfaatkan Ramadhan dengan baik, bukan hanya dengan tidur, tetapi juga dengan memperbanyak amal saleh dan ibadah kepada Allah swt. Semoga kita bisa menjalankan ibadah puasa dengan penuh kesungguhan dan memperoleh keberkahan Ramadhan. Wallahu a’lam bish-shawab.(H Puji Raharjo-Ketua Tanfidziyah PWNU Lampung)